Badai COVID-19 Di Indonesia Sedang Bergerak Cepat Menuju Puncaknya.

0
533

Badai COVID-19 Di Indonesia
Sedang Bergerak Cepat Menuju Puncaknya.

 

Oleh: Merphin Panjaitan (Penasehat Perkumpulan Cendekiawan Protestan Indonesia (PCPI)

 

Pengantar.

Tulisan ini dibuat dengan mengutip data dari berbagai laporan. Penulis menganalisis data tersebut dan mengemukakan pendapatnya; dan kemudian tulisan disebarluaskan sebagai sumbangan pemikiran dalam menghadapi badai COVID-19 yang sedang melanda Dunia, termasuk Indonesia.

Dari Wuhan, China, ke seluruh Dunia.
COVID-19 disebabkan oleh virus Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2). Virus ini masih satu keluarga dengan virus penyebab Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS), yang muncul di China pada tahun 2003; dan virus penyebab Middle East Respiratory Syndrome (MERS), yang muncul di Arab Saudi pada tahun 2012. COVID-19 muncul di Wuhan, China, pada akhir tahun 2019, dan kemudian menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pada 31 Desember 2019, Pemerintah China melaporkan kepada WHO tentang merebaknya novel coronavirus yang menyebabkan penyakit berat pada saluran pernapasan. COVID-19 di China telah mencapai puncaknya pada akhir Januari sd awal Februari 2020. Di lingkup dunia, COVID-19 sedang bergerak ke arah puncak, dan setelah itu menurun dan akhirnya reda; hal ini juga sedang terjadi di Indonesia. Pada 4 Maret 2020, Presiden Joko Widodo mengumumkan 2 kasus COVID-10 yang pertama; dan pada 11 April 2020, kasus positif COVID-19 meningkat menjadi 3.842; meninggal dunia 327 orang; dan 286 orang sembuh.

Penyebaran di wilayah tropis lebih lambat.

Ada fakta yang menarik dalam penyebaran COVID-19. Saya mencoba membandingkan penyebaran COVID-19, antara negara-negara tropis dengan negara-negara subtropis. Pada 9 April 2020, terlihat kasus COVID-19 di negara-negara tropis sangat sedikit dibanding dengan kasus di negara-negara subtropis. Di negara-negara subtropis ditemukan kasus sebagai berikut: USA: 435.160; Spain: 148.220; Italy: 139.422; Germany: 113.296; France: 112.950; China: 81.865; dan Iran: 64.586. Di negara-negara tropis ditemukan kasus sebagai berikut: India: 5.916; Malaysia: 4.228; Philippines: 4.076; Indonesia: 3.293; Thailand: 2.423; Uruguay: 456: Nigeria: 276. Banyak pakar menyatakan bahwa penyebaran COVID-19 di wilayah tropis lebih lambat; saya sependapat dengan para pakar ini, dan fakta di atas membuktikannya.

Pola pikir dan perilaku manusia lebih menentukan.

Tetapi kita perlu memperhatikan faktor penentu lainnya. China, negara tempat dimulainya COVID-19, dengan cepat penyakit ini meluas dan mengambil banyak korban. Badai COVID-19 di China mencapai puncaknya pada akhir Januari sd awal Februari 2020; dan setelah itu pertumbuhan kasus COVID-19 melambat. Angka kematian menurun dan pasien sembuh bertambah dengan cepat. Dan beberapa minggu setelah melewati puncak badai, China menutup sebagian besar RS COVID-19. Pada 28 Maret 2020, kasus COVID-19 di China: 81.394; meninggal dunia: 3.295; dan sembuh: 74.071. China mampu menghambat penyebaran COVID-19; dan juga mampu dengan cepat menyembuhkan sebagian besar penderitanya. China telah menemukan cara yang tepat untuk menghambat penyebaran COVID-19; dan tampaknya juga telah menemukan obat yang membantu percepatan penyembuhan penderita COVID-19. Saya pikir, dalam hal penanggulangan COVID-19 ini, negara-negara lain, termasuk Indonesia, perlu belajar ke China.

Juga ada yang menarik dari Jepang. Walaupun negara ini berada di wilayah subtropis, kasus COVID-19 sangat sedikit; pada 9 April 2020 di negara ini ditemukan hanya 4.667 kasus; total mati 94; total sembuh 632. Fakta ini memperlihatkan penyebaran COVID-19 tidak hanya ditentukan oleh iklim suatu negara, tetapi juga oleh berbagai faktor penentu lainnya. Pemerintah dan masyarakat Jepang mampu menghambat penyebaran COVID-19. Pemerintah Jepang menetapkan strategi yang tepat, pada waktu yang tepat, dengan mengerahkan sumberdaya yang cukup; dan masyarakat Jepang mendukung kebijakan negaranya dengan disiplin tinggi.

Bergerak cepat menuju puncaknya.
Dari 4 Maret 2020, pertama kali ditemukan penderita COVID-19 di Indonesia, sd 23 Maret 2020, kasus baru setiap hari kurang dari 100; tetapi dari 24 Maret sd 5 April 2020, jumlah kasus baru meningkat menjadi antara 103 sd 196 setiap hari, dan pada 6 sd 8 April 2020, kasus baru meningkat menjadi antara 218 sd 247 perhari; dan pada 9 April 2020, meningkat lagi menjadi 337; 10 April turun ke 219; tetapi pada 11 April 2020 kasus baru meningkat lagi menjadi 330. Tampaknya, badai COVID-19 di Indonesia sedang bergerak cepat menuju puncaknya. Dengan kerja keras dan disiplin kuat, kita berharap puncaknya dapat terjadi pada April ini. Dan setelah melewati masa puncaknya; penambahan kasus baru mengecil. Dan kalau kita berhasil menemukan proses penyembuhan yang lebih cepat; maka penurunan jumlah kasus baru disertai dengan peningkatan jumlah pasien sembuh; dan dengan demikian kasus aktif semakin kecil. Badai COVID-19 di Indonesia diharapkan segera reda.

Kita perlu bergerak lebih cepat lagi.
Pada 9 April 2020, total test yang kita lakukan masih sangat sedikit, yaitu sekitar 16.000, sedangkan total test di Malaysia 63.387 dan di Jepang 61.448. Rendahnya total test ini, bisa jadi belum mengungkapkan kondisi dan peta COVID-19 yang sebenarnya, dan hal ini bisa mengurangi ketepatan strategi pembendungan penyebaran COVID-19 dan pengobatannya. Pada 9 April 2020, di Indonesia, perbandingan antara total sembuh dengan total mati: 47 berbanding 53, sedangkan di lingkup dunia, 79 berbanding 21. Fakta ini memperlihatkan bahwa proses penyembuhan penderita COVID-19 di Indonesia masih terlalu lama. Dalam hal mempercepat proses penyembuhan ini, kita perlu kerja lebih keras dan belajar lebih banyak.
Indonesia diuntungkan oleh posisinya di wilayah tropis; tetapi paparan di atas memperlihatkan adanya faktor penentu lainnya. Dalam mengnghadapi badai COVID-19, kita harus mampu bergerak lebih cepat lagi; dan untuk itu kita perlu belajar dari China, yang berhasil membendung penyebaran COVID-19, dan juga berhasil meningkatkan jumlah pasien sembuh, sekaligus mengurangi pasien yang mati; dan juga perlu belajar ke Jepang.

Badai datang, badai pergi, dan badai akan datang kembali.
Kita hadapi badai ini dengan rasional, sabar dan berpengharapan. Kita juga harus mampu melihat badai ini sebagai peluang bagi Indonesia untuk membuat sendiri peralatan, vaksin, dan obat-obat yang dibutuhkan. Kita harus mampu mandiri, dan untuk itu kita harus mau belajar dan berani mencoba. Percaya diri, kerja keras dan gotongroyong. Kesabaran kita dibutuhkan; kurangi kegiatan di luar rumah. Saling menolong dan saling menghibur, membantu kita mengurangi penderitaan. Sebagaimana badai yang lain, baik badai alam maupun badai sosial, pada akhirnya reda. Badai datang, badai pergi, dan kemudian badai datang lagi; begitu seterusnya. Itulah kehidupan manusia, mahluk paling cerdas di muka bumi ini.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here