SETARA Institute Launching Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Indonesia Tahun 2020: Pandemi Lahan Subur Diskriminasi dan Intoleransi
Siaran Pers Launching Laporan
Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan Di Indonesia Tahun 2020 Jakarta, 6 April 2021
Pandemi Lahan Subur Diskriminasi dan Intoleransi
1. Laporan riset ke-14 SETARA Institute mengenai Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan (KBB) di Indonesia tahun 2020 ini mengusung judul Intoleransi Semasa Pandemi. Sebab, sebagaimana negara lainnya, Indonesia dilanda pandemi COVID-19. Dampak pandemi dirasakan di dan mempengaruhi seluruh sektor kehidupan, termasuk dalam KBB. Virus COVID-19 sejatinya tak mendiskriminasi penyintasnya, tetapi dampak yang ditimbulkan memperberat diskriminasi terhadap kelompok rentan, termasuk kelompok minoritas agama/keyakinan. Dengan demikian, penting untuk mencermati konteks pandemi bagi dinamika peristiwa dan tindakan pelanggaran KBB, aktor negara dan non negara, korban, gangguan rumah ibadah, dan lain sebagainya.
2. Laporan ini disusun dengan mengadopsi paradigma HAM sebagai tolok ukur, yang meletakkan KBB sebagai negative rights yang derajat penghargaannya ditentukan oleh seberapa jauh negara tidak mengintervensi urusan hak sipil. Laporan ini mencatat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Pembedaan peristiwa dan tindakan ini dimaksudkan untuk memastikan akurasi respons legal dari otoritas negara, sehingga secara cepat menemukenali tindak pidana dalam suatu peristiwa.
3. Pencatatan laporan dari pemantauan reguler atas peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang diperoleh dari berbagai sumber kemudian dipusatkan dalam Sistem informasi kebebasan beragama/berkeyakinan beralamat www.bebasberagama.id. Sumber- sumber tersebut adalah jaringan pemantau SETARA Institute, pelaporan langsung melalui pusat data dan sumber media massa, yang kemudian divalidasi dan dilakukan pengecekan ulang secara seksama. Selain itu, penelitian ini juga memanfaatkan teknik pengumpulan data melalui wawancara, studi literatur dan studi perundang-undangan.
Beberapa Temuan Kunci
4. Sepanjang tahun 2020, terjadi 180 peristiwa pelanggaran KBB, dengan 422 tindakan. Dibandingkan tahun sebelumnya, jumlah peristiwa menurun tipis, yang mana pada 2019 terjadi 200 peristiwa pelanggaran KBB, namun dari sisi tindakan melonjak tajam dibandingkan sebelumnya yang ‘hanya’ 327 pelanggaran.
5. Peristiwa pelanggaran KBB di tahun 2020 tersebar di 29 provinsi di Indonesia dengan konsentrasi pada 10 provinsi utama yaitu Jawa Barat (39), Jawa Timur (23), Aceh (18), DKI Jakarta (13), Jawa Tengah (12), Sumatera Utara (9), Sulawesi Selatan (8), Daerah Istimewa Yogyakarta (7), Banten (6), dan Sumatera Barat (5). Tingginya jumlah kasus di Jawa Barat hampir setara dengan jumlah kumulatif kasus di 19 provinsi lainnya.
6. Peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan mengalami fluktuasi di setiap bulannya sepanjang tahun 2020, seperti pada bulan Januari (21), Februari (32), Maret (9), April
(12), Mei (22), Juni (10), Juli (12), Agustus (13), September (16), Oktober (15), November (10), dan Desember (8). Angka peristiwa yang tertinggi dan drastis terjadi pada bulan Februari 2020.
Mengacu pada detail peristiwa yang dicatat, tren pelarangan perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day) di sejumlah daerah menjadi pemicu meningkatnya intoleransi.
7. Dari 422 tindakan yang terjadi, 238 di antaranya dilakukan oleh aktor negara. Sementara 184 di antaranya dilakukan oleh aktor non-negara. Hal itu menunjukkan bahwa kecenderungan peningkatan tindakan pelanggaran oleh aktor negara tahun lalu berlanjut. Tindakan tertinggi yang dilakukan oleh aktor negara adalah diskriminasi (71 tindakan), sedangkan tindakan tertinggi oleh aktor non negara adalah intoleransi (42 tindakan). Melihat potret tindakan aktor negara dan non negara, tampak bahwa pandemi menjadi lahan subur bagi terjadinya diskriminasi dan intoleransi.
8. Konfigurasi aktor negara dan aktor non negara pelaku pelanggaraan KBB tidak banyak berubah. Pada kategori aktor negara, Pemerintah Daerah dan Kepolisian menjadi pelaku pelanggaran tertinggi dengan masing-masing 42 tindakan. Sedangkan aktor non negara tertinggi adalah kelompok warga (dengan 67 tindakan) dan ormas keagamaan (dengan 42 tindakan). Sedangkan kelompok korban pelanggaran KBB tahun 2020 terdiri dari warga (56 peristiwa), individu (47), Agama Lokal/Penghayat Kepercayaan (23), Pelajar (19), Umat Kristen (16), Umat Kristiani (6), Aparatur Sipil Negara (4), Umat Konghucu (3), Umat Katolik (3), Umat Islam (3), Umat Hindu (3), Umat Buddha (2), dan Ormas keagamaan (2).
9. Sebanyak 24 rumah ibadah mengalami gangguan di tahun 2020 yang terdiri atas Masjid (14), Gereja
(7), Pura (1), Wihara (1), dan Klenteng (1). Umat Islam menjadi pihak yang paling banyak mengalami gangguan terkait rumah ibadah. Namun perlu dicatat bahwa yang paling banyak mendapatkan gangguan adalah tempat ibadah umat Islam dari madzhab atau golongan yang oleh kelompok pelaku dianggap berbeda dari mainstream. Kasus-kasus terkait rumah ibadah seharusnya segera diselesaikan mengingat adanya urgensi kesehatan masyarakat selama pandemi COVID-19, bukan malah ditunda lebih lanjut. Kasus penghentian pembangunan, penyegelan, dan perusakan masjid, gereja, dan klenteng sebagian besar disebabkan oleh produk kebijakan yang diskriminatif, intoleransi masyarakat sekitar, dan konflik internal kepengurusan rumah ibadah.
10. Terdapat 32 kasus pelaporan penodaan agama yang dilakukan oleh aktor non-negara. Sebanyak 27 di antaranya ialah berbasis daring yang berpotensi disebabkan oleh adanya pandemi COVID-19 yang membuat orang menjadi memiliki waktu luang lebih banyak untuk menggunakan sosial media karena dirumahkan. Pelaporan berbasis daring ini dilakukan terhadap konten yang dianggap sesat pikir, menghina tokoh agama, bermuatan kebencian, dan bercanda yang melecehkan. Selain yang berbasis daring, kasus pelaporan penodaan agama juga masih terjadi di kalangan masyarakat utamanya karena dianggap menyimpang dari mahzab mayoritas dan penistaan. Dari semua kasus ini, 17 kasus di antaranya berujung penangkapan, dan 10 di antaranya dikenakan sanksi pidana berupa denda dan kurungan. Para tahanan nurani ini biasanya dijerat oleh UU PNPS, UU KUHP, UU ITE, dan UU Ormas. Padahal, beberapa Pasal di UU ITE merupakan ‘pasal karet’ yang multitafsir dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum (lex certa).
11. Dari total 180 peristiwa pelanggaran KBB yang terjadi di tahun 2020, setidaknya 12 di antaranya menimpa perempuan sebagai korban. Peristiwa ini meliputi pelaporan penodaan agama, pelarangan atribut keagamaan, penolakan rumah dan kegiatan ibadah, diskriminasi berbasis daring, dan penolakan jenazah penghayat mahzab keagamaan. KBB sebagai bagian dari HAM dapat dimaknai sebagai upaya untuk melindungi warga negara dari konservatisme dn patriarki yang berasal dari ajaran agama. Dalam konteks ini, kegagalan negara dalam mengidentifikasi kekhususan situasi, kerentanan, dan dampak spesifik yang dialami oleh perempuan pada peristiwa pelanggaran KBB memicu perlakuan diskriminatif terhadap perempuan.
12. Secara umum, Pandemi COVID-19 membawa dampak positif dan negatif bagi KBB di Indonesia. Dampak positif yang ditimbulkan misalnya cakupan ibadah daring yang menjadi tak terbatas serta timbulnya inisiatif gotong royong antar umat beragama. Dampak negatif yang ditimbulkan misalnya munculnya polarisasi dalam masyarakat, politisasi COVID-19, pelipatgandaan marjinalisasi kelompok yang terdiskriminasi terutama perempuan, dan pembatasan/pembatalan kegiatan keagamaan.
13. Selain itu, sepanjang 2020, politik hukum nasional juga kontradiktif dengan prinsip-prinsip penjaminan KBB. Hal itu tercermin dalam (1) Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2020 —sebagai turunan dari RPJMN 2024—yang menghapus poin penguatan harmoni dan kerukunan umat beragama melalui dialog lintas agama di tingkat kecamatan, (2) Program Legislasi Nasional 2020 yang menunda RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, (3) UU 11/2020 tentang Cipta Kerja yang bermasalah dalam pasal penetapan jaminan produk halal, kepariwisataan berbasis agama, dan kewenangan polisi dalam mengawasi aliran keagamaan, (4) RUU Perlindungan Tokoh Agama dan Simbol agama yang merupakan wujud favoritisme terhadap tokoh agama dan simbol agama tertentu, (5) RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang melegitimasi penodaan agama dan merenggut hak kesehatan dan reproduksi seksual, (6) RUU Ketahanan Keluarga yang mengintervensi ranah privat keluarga dan melegitimasi subordinasi perempuan dalam rumah tangga, dan (7) terdapat 33 kebijakan daerah yang diskriminatif.
Rekomendasi
14. Pemerintah (Pusat dan Daerah) hendaknya menguatkan program kemasyarakatan yang mengarusutamakan interaksi antar agama dalam lingkungan sosial. Hal ini penting dalam rangka memupuk kepercayaan dan persaudaraan satu sama lain, memajukan toleransi, dan membangun resiliensi sosial. Dengan kepercayaan, solidaritas, dan toleransi, masyarakat akan memiliki ketahanan untuk tidak mudah diintrusi oleh doktrin keagamaan yang memecah belah, menyangkal dan mendiskriminasi yang berbeda. Dalam situasi demikian, masifnya arus virtualitas di tengah pandemi dapat diminimalkan dampaknya bagi peningkatan intoleransi, segregasi, pelanggaran KBB, bahkan radikalisasi yang mengarah pada ekstremisme-kekerasan.
15. Pemerintah (Presiden, Kementerian/Lembaga terkait, dan Pemerintah Daerah) hendaknya mengintensifkan program penguatan solidaritas antarumat beragama untuk menangkal perpecahan masyarakat, menangani penyebaran berita bohong, dan menanggulangi politisasi COVID-19 berbasis doktrin keagamaan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Pemerintah juga hendaknya memberikan dukungan dan mengaudit pemenuhan protokol kesehatan rumah ibadah agar umat beragama dan berkeyakinan dapat terus beribadah dengan merdeka sesuai ketentuan Konstitusi namun tetap aman di tengah pandemi COVID-19.
16. Data menunjukkan tingginya kasus pelaporan penodaan agama sepanjang tahun 2020. Berkaitan dengan itu, para penegak hukum dalam lingkup Kepolisian, Kejaksaan, maupun Mahkamah Agung hendaknya menerapkan pendekatan non-pidana dalam penyelesaian kasus penodaan agama. Hal itu juga harus juga disertai oleh proses penyidikan yang terukur dan adil sesuai dengan kerangka hukum dan hak asasi manusia. Dalam pandangan SETARA Institute, hukum penodaan agama memang problematik. Penegakannya rawan bias dan subjektivitas serta membuka ruang besar bagi multi interpretasi. Oleh karena itu, moratorium penggunaan hukum pidana penodaan agama akan menjadi langkah progresif untuk melindungi korban, termasuk kelompok agama minoritas, dari pemidanaan yang tidak adil.
17. Selain itu, Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintahannya hendaknya menangani berbagai persoalan umum intoleransi, diskriminasi, dan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan mengatasi akar permasalahannya. Pertama, Jemaat Ahmadiyah sudah satu setengah dekade lebih hidup dalam kesulitan di pengungsian Transito. Selain itu, Jama’ah Syiah Sampang masih diungsikan di pengungsian Sidoarjo. Maka Pemerintah harus menangani kedua kasus tersebut dengan resolusi permanen yang adil bagi korban. Kedua, terdapat dua putusan pengadilan tingkat kasasi terkait pendirian tempat ibadah yang tidak dijalankan oleh Pemerintah Daerah, yaitu mengenai pendirian HKBP Filadefia di Kabupaten Bekasi dan GKI Yasmin di Kota Bogor. Maka Pemerintah Pusat harus menginisiasi langkah progresif untuk pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung dan menjamin pendirian tempat ibadah HKBP Filadefia dan GKI Yasmin sehingga hak konstitusional jemaat kedua gereja tersebut dapat terjamin dan dinikmati secara paripurna. Ketiga, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU No. 1/PNPS/1965 adalah conditionally constitutional dan secara implisit memerintahkan Kementerian terkait untuk membentuk UU baru. Maka, pemerintah harus segera menyusun RUU baru yang supportif terhadap jaminan perlindungan KBB dari tindakan diskriminasi dan intoleransi. Keempat, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan Nomor 8 Tahun 2006, yang biasa dikenal publik sebagai PBM Pendirian Rumah Ibadah dan Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008, Nomor 199 Tahun 2008, yang dikenal sebagai SKB Ahmadiyah, nyata-nyata restriktif dan memancing terjadinya pelanggaran KBB, baik tindakan langsung atau kebijakan. Maka, Pemerintah melalui Kementerian terkait harus mengakselerasi proses revisi PBM 2006 yang kini sudah dimulai pemerintah serta mulai membentuk tim khusus untuk mengkaji dampak massif SKB 2008 terhadap intoleransi, diskriminasi, dan persekusi terhadap Jemaat Ahmadiyah, untuk kemudian meninjau ulang SKB tersebut. Kelima, banyak peraturan di tingkat daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan restriktif bagi perlindungan KBB, maka Pemerintah pusat harus membentuk gugus tugas evaluasi dan harmonisasi peraturan daerah dengan leading sectors Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Hukum dan HAM.
18. Di atas semua rekomendasi kebijakan dan agenda-agenda spesifik tersebut, SETARA Institute mendorong Pemerintahan Jokowi pada periode jabatan keduanya untuk mengarusutamakan keberagaman atau kebinekaan dalam seluruh aspek tata kelola pemerintahan negara melalui pelembagaan pemerintahan inklusif (inclusive governance), dengan tekanan khusus pada pemerintahan daerah agar keragaman kultur, keanekaan watak kepemimpinan lokal, dan bahkan di tengah dinamika dan konfigurasi politik lokal, kebinekaan tetap menjadi perspektif kunci dalam tata kelola pemerintahan. Perbedaan identitas dan latar belakang seluruh anasir pembentuk kebangsaan Indonesia, termasuk identitas dan latar belakang keagamaan, harus mendapatkan kesempatan, akses, dan jaminan hak yang setara dalam tata kelola pemerintahan.
Narahubung:
Kidung Asmara Sigit, Peneliti KBB SETARA Institute, +6281 7676 9769 Halili Hasan, Direktur Riset SETARA Institute, +62 852 3000 8880 Ismail Hasani, Direktur Eksekutif SETARA Institute, +62 812 1393 1116