Oleh: Jerry R Sirait (Pensiunan Dosen Universitas Kristen Indonesia (UKI))
Mestinya semua Halak/Bangso Batak di mana pun berada mendukung pembangunan destinasi pariwisata Danau Toba baik pada aras nasional mau pun internasional/dunia. Ya, tetapi dengan tetap berpedoman pada ketentuan bahwa Tano Batak adalah Tanah Adat Batak! Sebagai Tanah Adat Batak sudah “dari sononya” bukan karena ditentukan UU dan regulasi lainnya, tetapi oleh faktor historis yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun juga dan tidak dapat diubah (idealnya) oleh kekuasaan siapa dan kekuatan apa pun juga. Tanah itu adalah warisan Nenek Moyang dari sejak generasi terdahulu, turun temurun sampai generasi sekarang ini (sundut tu sundut marsundut-sundut).
Sejarah membuktikan bahwa Halak/Bangso Batak (semua puak: Angkola & Mandailing, Karo, Pakpak Dairi, Simalungun dan Toba) dengan sadar sesadar-sadarnya turut memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan RI. Konon kabarnya sudah banyak orang Batak yang menjadi aktivis pejuang sejak tahun 1908, tahun 1928 dan tahun 1945. Dalam perjuangan itu penderitaan tidak terelekkan dan terjadi tumpah darah di mana-mana. Buktinya adalah Taman Makam Pahlawan, baik yang di Jakarta mau pun di Medan dan di semua kabupaten/kota di seluruh Sumatera Utara. Batak tidak datang kemudian setelah kemerdekaan tetapi, sekali lagi, justru turut-serta memperjuangkan dan mengisi kemerdekaan itu.
UUD Negara RI Tahun 1945 adalah sumber hukum dan panduan utama norma kehidupan-bersama yang sudah dipatuhi Halak/Bangso Batak sejak Proklamasi Kemerdekaan RI. Sudah begitu banyak yang dipersembahkan Halak/Bangso Batak kepada negeri itu, baik sebelum mau pun setelah kemerdekaan. Gubernur Sumatera Utara suatu ketika mengatakan bahwa Gereja punya andil besar sebagai pusat perjuangan kemerdekaan itu. Bahkan penjajah pernah menghancurkan gedung-gedung gereja karena penjajah menganggap gereja dijadikan termpat bersembunyi para pejuang (catatan: adalah salah kaprah jika mengataka penjajah yang mendirikan Gereja ketika itu; yang mendirikannya adalah para missionaris. Bukan penjajah!).
Lalu pertanyaan kekinian: apakah mesti semuanya untuk republik ini? Termasuk Tano Batak? Lalu kapan republik ini “berbuat” untuk Halak/Bangso Batak di Tano Batak? Sampai saat ini ditemukan bukti bahwa roti pembangunan selama ini tidak kunjung tiba di Tano Batak. Masih kategori “tertinggal”. Maaf kalau saya salah!
Nah, sekarang ini ada rencana Pemerintah untuk membangun Tano Batak melalui pembangunan Danau Toba sebagai destinasi pariwisata. Tetapi, tanah dijual kepada investor. Tano Batak dikapling-kapling untuk menjadi milik investor! Menjadi milik “pendatang! Begitu bangganya Pemerintah untuk membangun Tano Batak tetapi dengan menjual tanahnya kepada investor yang dari luar negeri. Konon kabarnya Tano Batak di semua bona pasogit/ bona bulu ni puak-puak Batak Raya, terutama di Kawasan Danau Toba, sudah dikapling-kapling penguasa untuk dijual kepada investor. Waduh, saya terbayang: kemungkinan persis seperti Batavia – yang Betawinya “terusir” dari tanahnya sendiri. DKI Jakarta menjadi.milik yang bukan Betawi. Menurut saya bukan tidak mungkin Halak/Bangso Batak “terusir dari Tano Batak” karena tanah sudah milik investor. Akan berbeda dengan Bali – yang umumnya tetap milik orang Bali karena para investor hanya sebatas “menyewa”.
Muncul dalam pikiran saya, selain tujuan mulia Pak Jokowi, jangan-jangan dibalik itu semua ada kesengajaan “gerakan g .. sehingga nantinya Batak dan habatakon hanya menjadi cerita “tempo doeloe”. Walau Pemerintah berjanji “manis” mensejahterakan rakyat. Dan bukan proses pemasungab dan pemiskinan rakyat. Semoga!!!
Menurut hemat saya memperjuangkan Tano Batak adalah tanah adat Batak/ komunal: dulu, sekarang dan kapan pun; memperjuangkan agar pembangunan pariwisata Danau Toba dengan tetap menghargai nilai-nilai luhur habatakon dan segala kearifan lokal lainnya serta dalam spirit pembangunan yang berkelanjutan; mendampingi dan mencerahkan warga masyarakat di Tano Batak mengenai hukum dan hak-haknya; memperjuangkan agar pembangunan tetap dalam balutan kasih, keadilan dan kebenaran, perdamaian dan keutuhan ciptaan; memperjuangkan Danau Toba sebagai Tao Toba raja ni sudena tao dikembalikan menjadi: Tao Na Uli, Aek Na Tio, Mual Hangoluan; memperjuangkan Kawasan Danau Toba menjadi Kota Berkat di Atas Bukit;
BUKANLAH PROVOKASI. Sekali lagi BUKAN PROVOKASI!!
Mestinya semua pemangku kepentingan duduk bersama dan bersama-sama memusyawarahkannya. Bukan pendekatan kekuasaan, bukan pendekatan “atas bawah”. Masih ada waktu untuk itu demi untuk kesungguhan kemaslahatan umat. Mudah-mudan pembangunan yang tampaknya tergesa-gesa sekarang ini bukan untuk sekedar “kejar tayang”.
Salam habatakon!
Jerry R Sirait,
Pengawas YPDT (Yayasan Pencinta Danau Toba)