MENGAKHIRI KEHIDUPAN DENGAN PANTAS

0
524

MENGAKHIRI KEHIDUPAN DENGAN PANTAS

Oleh: Weinata Sairin

”Ille quidem dignum virtutibus suis vitae terminum.
Dia mengakhiri hidupnya dengan kehidupan
yang pantas.”

Hidup manusia dalam perspektif agama-agama adalah menyusuri
garis linier yang membentang dari tonggak A menuju tonggak Z.
Rentang waktu A–Z ini adalah rentang standar dengan mengacu
kepada urutan abjad sebagaimana yang kita kenal. Bisa saja ada orang yang
tidak sampai mencapai Z; mungkin hanya sampai di D, E, atau F, dan
seterusnya. Dalam bahasa sekuler, itu tergantung sponsor! Dalam bahasa
agama, kurun waktu yang bisa dicapai seseorang amat tergantung pada hak
prerogatif Allah, pada rencana keselamatan dan Kasih-Nya kepada
manusia.

Sejak lama, negara ini mengenal program pembangunan, ada yang
dinamakan ”Pembangunan Semesta Berencana”. Agama-agama selalu
mengingatkan agar manusia menjadi tokoh sentral dalam pembangunan.
Artinya, manusia sebagai makhluk ciptaan yang mulia tidak disisihkan dari
program pembangunan, bahkan manusia jangan menjadi korban dari pembangunan. Itulah sebabnya, dalam kamus pembangunan kemudian dipopulerkan n istilah ”pembangunan manusia seutuhnya”

Jargon itu dimaksudkan agar pembangunan itu tidak hanya memproduksi gedung-gedung pencakar langit, tetapi juga memperhatikan
pembangunan mental spiritual manusia. Kita patut bersyukur karena pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) atau dokumen Nawacita peran strategis manusia amat diperhitungkan.

Dalam RPJMN 2005–2025 ditegaskan bahwa ”pembangunan manusia
pada intinya adalah pembangunan manusia seutuhnya. Tantangan yang
dihadapi dalam pembangunan agama adalah mengaplikasikan ajaran agama
dalam kehidupan sehari-hari, mewujudkan kerukunan intern dan antarumat beragama serta memberikan rasa aman dan perlindungan dari tindak
kekerasan”.

Dalam Nawacita (= ’Sembilan Harapan’), yaitu program Presiden
periode ini, program peningkatan kualitas manusia termasuk dalam cita
kelima, yang dilaksanakan melalui pembangunan di sektor pendidikan.
Perhatian pada sosok manusia dalam program pembangunan seharusnya
makin meningkatkan kualitas manusia sehingga ia mampu menjawab tantangan zamannya.

Pembangunan manusia seutuhnya sejak zaman pra-GBHN, zaman
GBHN, dan pasca-GBHN menjadi tema utama dalam pelaksanaan program
pembangunan bangsa. Pembangunan mental-spiritual, pembangunan
bidang keagamaan yang telah dilaksanakan sejak tahun ’60-an telah melahirkan sosok manusia, yang juga hingga kini kita alami realitasnya dalam
kehidupan praktis. Ada orang-orang yang sukses di zamannya sebagai ”hasil” dari program pembangunan tersebut, tetapi banyak juga yang menghasilkan sosok koruptor dan para penjahat dalam berbagai aspek kehidupan.

Memang, realitas manusia Indonesia masa kini yang acap terkena OTT
(Operasi Tangkap Tangan), masuk penjara, menjadi pembunuh sadis, dsb.,
tidak semata-mata akibat ”ideologi pembangunan” tetapi ada banyak faktor
di belakangnya.

Hal yang harus digarisbawahi adalah bagaimana proses pembinaan
spiritual dalam keluarga. Apakah aktivitas keagamaan dalam setiap rumah tangga berjalan lancar? Masihkah tersedia waktu bagi setiap rumah tangga untuk melakukan ibadah di keluarga secara bersama setiap malam?

Ada banyak anggota keluarga muda yang baru pulang dari kantor setiap
hari di atas pukul 20.00, sehingga tidak lagi tersedia waktu baginya untuk
ikut dalam ibadah bersama yang biasanya dilakukan dalam setiap rumah
tangga, atau ibadah yang dilakukan antarrumah tangga di suatu wilayah.
Realitas ini mengharuskan pimpinan komunitas keagamaan mencari polapola dan pendekatan baru agar pembinaan terhadap umat bisa berjalan
dengan baik.

Pembinaan spiritual, baik oleh keluarga maupun oleh lembaga/
komunitas keagamaan mesti berlangsung kontinu, terarah, dan terencana.

Setiap lembaga/komunitas keagamaan memiliki cara dan program sendiri
dalam hubungan dengan pembinaan spiritualitas itu. Ibadah dalam
Keluarga/Rumah Tangga, ibadah antarkeluarga dan ibadah dalam rumah
ibadah harus menjadi aktivitas rutin setiap warga bangsa, apa pun agama
mereka. Tempat ibadah, sebagai pusat pembinaan spiritual, mesti difasilitasi
pembangunannya oleh pemerintah/pemda.

Dengan terwujudnya pembinaan spiritual bagi setiap manusia secara
terus-menerus diharapkan seseorang akan tangguh imannya dan mampu
menolak segala tantangan yang dihadapi dalam hidupnya, dan hingga akhir hayat ia menjadi orang yang baik, yang patut diteladani.

Di kalangan saudara-saudara Muslim dikenal istilah ”husnul
khotimah” (= ’mengakhiri hidup dalam keadaan beriman’; ’akhir kehidupan
yang baik’). Setiap umat beragama pada masa-masa akhir kehidupannya
harus lebih dekat kepada Tuhan, lebih banyak berbuat baik, dan beriman
sampai akhir hayat.

Setiap umat beragama pada akhir hayatnya harus bisa berkata seperti
Rasul Paulus ini, tetapi dengan tetap rendah hati: ”Aku telah mengakhiri
pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah
memelihara iman” (2 Timotius 4:7). Pepatah kita mengingatkan agar kita
mengakhiri hidup ini dengan kehidupan yang”pantas”! Mari renungkan dan
lakukan!

Selamat Berjuang.God Bless!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here