Merdeka dari Korupsi?

0
997

Oleh: Roberto Duma Buladja

 

Sejak proklamasi kemerdekaan 1945 hingga sekarang ini, Indonesia sebagai sebuah negara bangsa (nation state) nyatanya belum menampakan wajah ceria dan gembira. Memasuki usia genap ke-74 tahun, serta telah bergulirnya dua dekade agenda besar reformasi semenjak 1998 silam, khalayak umum masih terlihat resah. Keresahan itu sejalan dengan beg9itu maraknya dan kompleksnya permasalahan kebangsaan yang membutuhkan penyelesaiannya secara pasti. Salah satunya masalah korupsi.

Korupsi menjadi permasalahan konkret yang terus hidup (bahkan dihidupi), serta seakan-akan menjadi lingkaran setan yang tidak bisa diputus. Hadir dengan berbagai bentuknya, perilaku koruptif mampu menembus lintas batas masa dan generasi. Adanya anggapan khalayak umum bahwa korupsi merupakan “budaya” kemasyarakatan terus menguat. Bahkan sejalan dengan statement berkonotasi buruk bahwa perilaku koruptif atau “barang busuk” itu selalu diwariskan.

Berdasarkan hasil riset Tranparency International Indonesia (TII), bahwa Corruption Perceptions Index (CPI) atau Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada tahun 2018 naik satu poin menjadi 38. Data ini menunjukan ada kenaikan skor 1 poin dari CPI 2016 dan 2017 yang cenderung stagnan pada skor 37. Ranking Indonesia pun meningkat 7 angka pada tahun 2018, dengan peringkat 89 dari 180 negara. Data ini menunjukan bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia kelihatannya terus membaik. Walaupun, catatan yang dikeluarkan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), bahwa “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2015-2019 menargetkan skor Indonesia akan mencapai angka 50.” Terlepas dari capaian dan harapan besar itu, realitas di lapangan masih menuntut pekerjaan besar KPK dan aparat pemberantasan korupsi lainnya beserta seluruh elemen bangsa untuk keluar dari jeratan perilaku korupsi.

Korupsi sebagai salah satu kejahatan luar biasa (extraordinary crime) di Indonesia telah menjalar ke berbagai sektor kehidupan. Korupsi di sektor politik, swasta, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan sektor penegakan hukum sendiri nyatanya masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Sebagaimana hasil riset Anti Curruption Clearing–KPK RI sebagaimana dirilis oleh lokadata.beritatagar.or.id, bahwa tindak pidana korupsi berdasarkan profesi (2004-2018) dimenangkan (posisi pertama) oleh anggota DPR/DPRD. Selanjutnya, Swasta dan Eselon I/II/III masing-masing menempati posisi dua dan tiga. Hal ini menunjukan betapa buruknya integritas para elit politik dan wakil rakyat di Republik ini.

Potret tak beradab daripada tindak-tanduk korupsi terus hadir dalam pemberitaan di berbagai media. Adapun berbagai media online dalam beberapa bulan terakhir ini memberitakan, bahwa diantaranya KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap para pejabat publik. Salah satunya adalah Bupati Kudus Muhammad Tamzil dengan dugaan jual beli jabatan yang merugikan negara sebesar 250 juta. Ketua DPRD Ketapang, Kalimantan Barat, Hadi Mulyono Upas, ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang dana aspirasi dewan tahun anggaran 2017 dan 2018, di mana kerugian negara ditaksir mencapai Rp 4 miliar. Empat orang tersangka baru kasus gratifikasi (korupsi) Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP). Jumlah tersangka kasus korupsi E-KTP hingga kini berjumlah 12 orang, dan mungkin akan terus bertambah. Ditambah lagi dengan adanya 11 orang di DKI Jakarta yang diduga kuat suap impor bawang putih.

Di tempat lainnya, Polisi juga membongkar praktik korupsi anggaran klaim Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan senilai Rp 7,7 miliar di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Adapun Kejaksaan Negeri (Kejari) Cimahi yang menyita uang penggantian kerugian negara Rp 130 juta dari tersangka kasus korupsi pengadaan tanah untuk proyek pembuatan Saluran Pembuangan Air Limbah (SPAL) Leuwigajah. Total kerugian negara dari korupsi proyek hibah ini sebesar Rp 2,3 miliar. Di tempat lain juga, Kejaksaan Agung dan Kejaksaan Negeri Cilegon menangkap buron kasus korupsi pembangunan kawasan hutan, Biston Manurung, yang diburu semenjak tahun 2015.

Tentunya masih banyak sederetan kasus korupsi, baik itu suap, penyalahgunaan wewenang, jual beli jabatan serta beragam motif dan bentuk gratifikasi yang ada. Perilaku ini jelas merugikan keuangan negara, dengan bunyi jutaan, miliaran, bahkan triliunan rupiah yang notabenenya merugikan masyarakat banyak. Betapa hebatnya bukan? Para politisi dan pejabat publik serta lembaga swasta yang memegang kunci penting dan strategis menciptakan kesejahteraan masyarakat, malah menumpukan kekayaan pribadi dan kerabatnya. Perilaku busuk itu tentunya menyengsarakan dan melumpuhkan generasi masa depan Indonesia.

Lantas, apakah kita harus mengambil sikap pesimis terhadap kondisi dan masalah ini? Bagaimana dengan esensi dan tujuan kemerdekaan yang selama ini kita yakini dan hidupi? Apakah esensi kemerdekaan itu luntur manakala masalah seperti korupsi ini terus menjalar dan melilit keindonesiaan kita? Tentu saja tidak!

*Catatan Reflektif: Perlu Optimisme dan Sikap Kritis Menolak Korupsi*

Jika disandingkan dengan konsep merdeka 100 % sebagaimana cita-cita Bapak Republik, Ibrahim (Tan Malaka), maka perilaku koruptif sesungguhnya sangat jauh dari bayangan ideal itu. Saya membayangkan jika Tan Malaka dan para founding fathers Indonesia masih hidup di era sekarang ini, maka yang tampak hanyalah perasaan malu dan kecewa bahkan muncul tangis tragis yang menyedihkan.

Perilaku korupsi jelas mengerdilkan esensi kemerdekaan yang dengan susah payah telah diperjuangkan dan direbut dari tangan kolonialis. Tindakan korupsi sejatinya tidak memerdekakan manusia, melainkan menempatkan manusia sebagai objek yang terus dikuras. Rakyat terpapar “kurus” karena pemiskinan oleh tindakan busuk para koruptor.

Di tengah tindakan korupsi yang merajalela ini, kita diajak untuk kembali merefleksikan esensi kemerdekaan kita. Potret tindakan korupsi di Indonesia memberikan petunjuk nyata bahwa kita belum merdeka 100 %. Malu dan kecewa menjadi bagian di dalamnya, akan tetapi jangan sampai larut dalam sikap pesimistis yang berlebihan. Justru, sikap pesimis semakin melemahkan dan memperburuk kondisi bangsa ini. Sebaliknya, kita perlu menyikapinya dengan sikap optimistis yang tak mengenal mundur.

Sikap optimis bahwa tindakan koruptif harus dicegah dan diberantas menjadi perihal penting bagi semua kalangan masyarakat di Indonesia. Optimisme akan adanya perubahan perilaku korup ke arah yang lebih beradab perlu untuk terus dipupuk dan diperjuangkan. Tidak hanya oleh lembaga berwenang, melainkan oleh semua pihak. Sebab, spirit keindonesiaan yang didasarkan oleh sikap optimisme pantang menyerah terbukti mampu memerdekakan bangsa ini. Dengan demikian, sikap optimis sedianya memberi energi yang cukup besar untuk menggerakan khalayak yang pesimis dan pasif untuk menjadi aktif dan secara massif mendemonstrasikan sikap anti korupsi.

Sejalan dengan optimisme itu, sikap kritis untuk menolak perilaku koruptif penting untuk terus ditumbuh-kuatkan. Sikap kritis berkaitan dengan upaya untuk memaknai dan memperlakukan diri sendiri dan lingkungan (termasuk sesama) secara humanis dan bertanggungjawab. Bagi saya, membangun sikap kritis ditempuh dengan cara-cara kecil, dalam lingkungan di mana kita berada. Sebab, segala sesuatu manyangkut perubahan besar berangkat dari ruang lingkup kecil (seperti individu ataupun organisasi mahasiswa) dan beranjak pada skala yang lebih makro seperti bangsa, negara, dan lain sebagainya.

Cara demikian sejalan dengan argumentasi Semuel S. Lusi, seorang akademisi sekaligus aktivis di Center for Critical Thiking (CCT) Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), yang mengungkapkan bahwa membentuk sikap kritis dan budaya anti korupsi bagi seorang aktivis mahasiswa adalah mampu mengelola lembaga atau organisasi mahasiswa secara transparan, dengan tujuan (purpose) yang jelas, sehingga bisa menjadi teladan bagi pemerintah atau negara. Bagi saya, argumentasi demikian mampu menciptakan kesadaran dan budaya anti korupsi di kalangan mahasiswa. Sebab, dalam segala pertanggungjawaban organisatoris yang didasarkan pada tranparansi dan penetapan tujuan secara jelas merupakan syarat mutlak bagi sebuah kepemimpinan dalam menggerakan roda organisasi.

Sebagai bagian dari negara ini, setiap warga negara harus merasa terpanggil dengan bersikap optimis dan kritis untuk bertanggungjawab penuh dalam upaya membangun budaya anti korupsi. Sikap demikian harus dimulai dalam keberadaan kita pada ranah-ranah kecil, lalu beranjak masuk pada ranah yang lebih besar. Sebab, kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para founding fathers sejatinya perlu diisi dengan pikiran dan tindakan yang sifatnya konstruktif bagi kemajuan Indonesia. Optimisme dan sikap kritis adalah kunci penting untuk membentuk diri yang berintegritas dan tegas menolak segala bentuk tindakan koruptif.

Meninjau tantangan dan kebutuhan bangsa hari ini, maka sumber daya manusia sangat penting untuk dipersiapkan dalam kerangka menopang tujuan dan cita-cita ber-Indonesia. Sejalan dengan kebutuhan besar itulah, maka konsekuensi logis bagi pemerintah (atau negara) adalah menggiatkan pendidikan karakter anak bangsa sejak dini. Upaya nyata dan keseriusan dari pemerintah sangatlah diperlukan dalam kerangka memfasilitasi pembentukan kompetensi berpikir kritis bagi kalangan pemuda dan mahasiswa. Tentunya, kebutuhan dan peranan penting dari pemerintah merupakan hal yang tidak lagi ditawar. Kata lain ya harus segera dilakukan sejak dini dan konsisten. Dengan dibekali oleh karakter demikian, maka tipe pemimpin ideal yang bersih, jujur, adil, berani, berintegritas sejatinya akan memenuhi segala lini strategis, dan menggerakan Indonesia ke arah yang merdeka dan beradab.

Sekali merdeka tetap merdeka !!!

*Roberto Duma Buladja, Aktivis Mahasiswa – Mahasiswa Pasca Sarjana Program Studi Pembangunan – UKSW Salatiga.*

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here